Kamis, 19 Januari 2012

Doa Pembersih Jiwa dari Virus Ananiyah (Keakuan)


Doa Pembersih Jiwa dari Virus Ananiyah (Keakuan)
(Al Habib Syeikh Sayyid Abdul Madjid Ma'roef RA guru dari Sang Prof)
Muallif Sholawat Wahidiyah Ra
Ketika hamba-hamba Allah mencari kebenaran di dunia yang semakin sempit dan semakin gelap ini,
Ketika ayat-ayat sudah ditutup sendiri oleh umat islam,
Ketika ayat-ayat Allah sendiri tidak mampu merubah hatinya umat islam,
Ketika ayat-ayat itu sudah diperalat oleh nafsu umat islam itu sendiri,
Saat itu hamba-hamba Allah mencari celah-celah yang masih terbuka jalan menuju kepada Tuhannya, dimana saat kedurjanaan umat memotong perjalanan wahyu-wahyu Ilahi melalui akal bukan melalui hati yang jernih, sehingga ayat-ayat Tuhan yang semestinya sebagai petunjuk bagi manusia (huda linnas) untuk mengahantarkan kepada Tuhannya menemukan kasih sayang dan perdamaian, akan tetapi sekarang dibuat akal-akalan, dijadikan sebagai bahan adu domba dan fitnah, bahkan dijadikan alat untuk menghancurkan sesama umat khususnya sesama umat islam itu sendiri.
Maka apabila celah-celah itu sudah tertutup, saat itulah Allah sendiri yang membuka celah memaksa manusia untuk tunduk kepadaNya dan Allah akan menampakkan jatidiriNya (baca:Dahsyatnya Kekuatan Inti, Merubah Dunia Menjadi Surga).
“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (menjadi begini)?", pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya. Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka, Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (Q.S Al Zalzalah [99]:1-8)
Lalu siapakah sejatinya pengikut Muallif Ra itu?
Seorang pengikut sejati, tidak jauh dengan apa yang ia ikuti,
Begitupula pengikut Beliau Muallif Ra, tidak akan jauh dari sifat-sifat Beliau,
Mempunyai sifat kasih sayang, sabar, bijaksana, dan selalu rendah diri atau tawadhu’,
Adakah pengikut sejati Beliau di zaman ini?
Ingat!, memegang perkara hak dan mengikuti jejak Beliau di zaman ini seperti memegang bara api.
Jika Beliau mendapat kontrasan, hujatan, cacian, fitnaan, serta ancaman, maka pengikut Beliau pasti akan mendapatkannya juga.
Pengikut Muallif Ra yang sejati selalu memikirkan umat, prihatin, merasa rendah, merasa nol tidak ada perasaan apa-apa, dan senantiasa mengikuti jejak Beliau lahir dan batin, sehingga setiap langkah dan nafasnya tidak pernah lepas dari dzikir dan sholawat.
Maka siapa a’wan sejati itu?
Seorang a’wan sejati dia tidak pernah merasa menjadi a’wan,
Seorang pengikut sejati Muallif Ra, Ia hanya bisa mengatakan, tidak pantas untuk mengikuti Beliau, karena ia selalu merasa menyakiti dan menghianati perjuangan Beliau,
Sehingga dia merasa semakin rendah, tenggelam, dan merasa bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, bahkan air mata kerendahan sering menetes dan tumpah, karena ikatan rohani dengan Beliau muallif Ra,
Sayapun teringat dawuh Beliau,
“Jangankan jadi guru, jadi muridpun saya tidak sanggup”
Subhanallah betapa mulianya akhlak Beliau,
Benarkah kita adalah pengikut Beliau?
Astaghfirullah…!!! Ternyata aku sang penipu Muallif Ra.
Salahkah jika Muallif Ra kuanggap sebagai guru dan pembimbing rohaniku???
Sebenarnya di zaman sugengnya Muallif Ra perasaan nol ini sudah ditanamkan di hati para “Pengamal Wahidiyah” sehingga di zaman itu pengamal satu dengan yang lain tidak ada saling hasut menghasut, tidak ada saling fitnah menfitnah, semua saling bergotong-royong, menghargai satu dengan yang lain, dan saling merasa rendah diri, ucapan para pengamal di saat itupun saling membawa hikmah, sebab disaat itu semua saling merasa nol (bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa).
Namun disaat Muallif Ra di panggil menghadap Ilaahi Robbi, kini perasaan itu pudar bagai debu yang tiada arti, hanya sebagai penghias bagi akal saja, sehingga satu pengamal dengan pengamal yang lain saling berebut merasa benar sendiri, bertopeng sebagai pengikut sejati di belakang Muallif Ra tapi secara tak sadar merobek-robek baju kemuliaan Beliau.
Sungguh terlalu jiwa ini, tidak menyadari bahwa sebenarnya diri ini terlempar jauh dari Muallif Ra.
Masih adakah “Pengamal Wahidiyah” sebagai pewaris sifat, sikap serta akhlaqul karimah Beliau untuk mengembalikan sesuatu yang sudah pudar untuk membawa diri ini menuju kemurnian jiwa hamba seperti yang dulu ditanam oleh Mbah Yahi Ra?
Duhai Mbah Yahi Ra..
Aku berebut menjadi pengikut sejatimu tapi kenyataannya kurobek-robek baju kemuliaan Paduka…
Maafkan kami dan semua “Pengamal Sholawat Wahidiyah”….

Siapa Syekh Siti Jenar ? di balik fakta yang terbalik


Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439 C/1426-1517 M), memiliki banyak nama : San Ali (nama kecil pemberian orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali Anshar seperti banyak ditulis orang); Syekh ‘Abdul Jalil(nama yg diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar Islam di sana); Syekh Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera dan daratan Malaka); Prabu Satmata (Gusti yg nampak oleh mata; nama yg muncul dari keadaan kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yg diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya);Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yg diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas dan kampung model yg dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni kerajaan. Wajar jika orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab di Cirebon nama yg populer adalah Syekh Lemah Abang); Syekh Siti Jenar (nama filosofis yg mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa manusia secara biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah dan selebihnya adalah roh Allah; juga nama yg dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika memperkenalkannya kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di Jawa Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon); Syekh Nurjati atau Pangran Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon, S.Z. Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung (nama-nama yg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita [1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; danSyekh Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang.
Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama Syekh Siti Jenar yakni ilmu kasampurnan, ilmu sangkan-paran ing dumadi, asal muasal kejadian manusia, secara biologis diciptakan dari tanah merah saja yg berfungsi sebagai wadah (tempat) persemayaman roh selama di dunia ini. Sehingga jasad manusia tidak kekal akan membusuk kembali ketanah. Selebihnya adalah roh Allah, yg setelah kemusnaan raganya akan menyatu kembali dengan keabadian. Ia di sebut manungsa sebagai bentuk “manunggaling rasa”(menyatu rasa ke dalam Tuhan).
Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajad fisik maka keberadaan surga dan neraka adalah di dunia ini, sesuai pernyataan populer bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia adalah neraka bagi orang yg menyatu-padu dgn Tuhan. Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu wadag-nya dan bebas bersatu dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgn Tuhan sering terhalang oleh badan biologis yg disertai nafsu-nafsunya. Itulah inti makna nama Syekh Siti Jenar.
Asal Usul Syekh Siti Jenar
Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit.
Syaikh Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan dari Rasulullah Saw. Nasab lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan ’Ali] bin Sayyid Shalih bin Sayyid ’Isa ’Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid ’Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid ‘Alwi ‘Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid ‘Ali Khali Qasam bin Sayyid ‘Alwi Shohib Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma’ah bin Sayyid ‘Alwi al-Mubtakir bin Sayyid ‘Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid ‘Isa An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid ‘Ali Al-’Uraidhi bin Imam Ja’far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw.
Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.
Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. Kesultanan Malaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani.
Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.
Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.
Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.
Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. Pada saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:
1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya
2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,
3. Sayyid Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin ’Affan, untuk wilayah Jawa Barat, Banten, Sumatera, Champa, dan Asia tenggara
4. Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman.
Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.
Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.
Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M (Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972; P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk, [i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol, 1817), dilingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban larang waktu itu, yg sekarang lebih dikenal sebagai Astana japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yg multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku.
Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dgn kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah.
Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala yg berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.
Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas,
“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1>
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa.
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka,Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.
Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana.
Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yg kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dgn sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.
Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.
Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dgn sepenuh hati, disertai dgn pendidikan otodidak bidang spiritual.
Padepokan Giri Amparan Jati
Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama Islam yg berpusat di Cirebon oleh Kerajaan Sunda di sebut sebagai musu(h) alit [musuh halus]
Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan berbagai pelajaran keagamaan, terutama nahwu, sharaf, balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi santri generasi kedua. Sedang yg akan menjadi santri generasi ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah baru datang ke Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di Timur Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai siswa Padepokan Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar 17-an tahun.
Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar pondok dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia bertekad untuk mencari “sangkan-paran” dirinya.
Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur Viphala ini mencakup empat pokok laku utama.
Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan di mana tidak adal lagi sesuatu yg ingin dicapai manusia. Kedua, nirhana, yaitu seseorang tidak lagi merasakan memiliki badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan. Ketiga, niskala adalah proses rohani tinggi, “bersatu” dan melebur (fana’) dgn Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini, “aku” menyatu dgn “Aku”. Dan keempat, sebagai kesudahan dari niskala adalah nirasraya, suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala dan melebur ke Parama-Laukika (fana’ fi al-fana’), yakni dimensi tertinggi yg bebas dari segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri dan mengatasi “Aku”.
Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang, menemui Aria Damar, seorang adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri Maulana Ibrahim Samarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar bermukim di tepi sungai Ogan, Kampung Pedamaran.
Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450 M. bersama Aria Abdillah ini, San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam semesta yg dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nur” (cahaya Maha Cahaya), atau yg kemudian dikenal sebagai kosmologi emanasi.
Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka dan banyak bergaul dgn para bangsawan suku Tamil maupun Malayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa San Ali untuk memasuki dunia bisnis dgn menjadi saudagar emas dan barang kelontong. Pergaulan di dunia bisnis tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajari berbagai karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimang harta. Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan agama Islam yg oleh masyarakat setempat diberi gelar Syekh jabaranta. Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil.
Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini membawa Syekh Siti Jenar menuai keberhasilan menaklukkan tujuh hijab, yg menjadi penghalang utama pendakian rohani seorang salik (pencari kebenaran). Tujuh hijab itu adalah lembah kasal (kemalasan naluri dan rohani manusia); jurang futur (nafsu menelan makhluk/orang lain); gurun malal (sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalan rohani); gurun riya’ (bangga rohani); rimba sum’ah (pamer rohani); samudera ‘ujub (kesombongan intelektual dan kesombongan ragawi); dan benteng hajbun (penghalang akal dan nurani).
Pencerahan Rohani di Baghdad
Setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul bait (keturunan Rasulullah), Syekh Siti Jenar semakin memiliki keinginan kuat segera pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota suci Makkah.
Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulama Malaka asal Baghdad Ahmad al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu “ke-Esaan af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yg tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg tidak terlihat pada hakikatnya adalah af’al Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui dan merasakan langsung bagaimana af’al Allahitu optimal bekerja dalam dirinya.
Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan tuduhan dari Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itu pemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensi perbuatan alam atau manusianya sebagai tolak titik pandang akan tetapi justru perbuatan Allah melalui iradah dan quradah-NYA yg bekerja melalui diri manusia, sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia juga sampai pada suatu kesadaran bahwa semua yg nampak ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya memiliki satu sumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yg maujud.
Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud. Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga al-Tawalud tersedia banyak kitab-kitab ma’rifat dari para sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah peninggalan kakek al-Tawalud, Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg di kenal sebagai madzhab ahl al-bayt.
Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi sufi dari al-Thawasinnya al-Hallaj (858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nya al-Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi (1165-1240), Ihya’ Ulum al-Dindan kitab-kitab tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jili meninggal, Syekh Siti Jenar sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia.
Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya Syekh Siti Jenar; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak. Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang.
Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg paling berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut, semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim al-Jili.
Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses pencarian spiritualnya yg memiliki ujung pemahaman yg mirip dgn secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili dan Ibnu ‘Arabi.
Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam. Yg terpenting, memiliki banyak kemiripan dgn pengalaman rohani yg sudah dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan nampak nyata, dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya, yg banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa.
Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan konser-konser musik sufi yg digelar diberbagai sama’ khana. Sama’ khana adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’ khana mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd.
Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada tingkatan fawa’id (memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab yg menyelubunginya telah tersingkap. Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda dgn umumnya manusia); dan lawami’(mengejawantahnya cahaya rohani akibat tersingkapnya fawa’id), tajaliyat melalui Roh al-haqq dan zawaid (terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg membuat seluruh rohaninya tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah Syekh Siti Jenar mendapatkan kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi dan al-Jili.
Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk hatinya dgn sendirinya ia merasakan denting dzikir dan menangkap suara dzikir yg berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni (mahasuci aku, segala puji untukku, tiada tuhan selain aku, maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun telinganya mendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara yg di dengar lubuk hatinya adalah dzikir nafsi, sebagai cerminan hasil man ‘arafa bafsahu faqad ‘arafa Rabbahu tersebut. Sampai di sini, Syekh Siti Jenar semakin memahami makna hadist Rasulullah“al-Insan sirri wa ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).
Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi (560/1165-638-1240), Ma’ruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb mengalami nasib yg baik dalam artian, ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di dunia tidak pernah mengalami intimidasi dan kekerasan sebagai korban politik dan menemui akhir hayat secara biasa.
________________________________________________________________
KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH adalah:
1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….
2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”, artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.
3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.
4. Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing. Bantahan saya: “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun. Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.
5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Bantahan saya: Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama.” Tidak bisa diterima akal sehat.
Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:
1. Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]
2. Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak]
3. Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]
Wahai kaum muslimin…melihat fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap upaya para kolonialist, imprealis, zionis, freemasonry yang berkedok orientalis terhadap penulisan sejarah Islam. Hati-hati….jangan mau kita diadu dengan sesama umat Islam. Jangan mau umat Islam ini pecah. Ulama’nya pecah. Mari kita bersatu dalam naungan Islam untuk kejayaan Islam dan umat Islam.
(Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972; P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk, [i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol, 1817),

Sultan Muhammad Al-Fatih, Kisah Ahli Tahajud : Kisah Pedang Malam Al Fatih

Sultan Muhammad Al-Fatih, Kisah Ahli Tahajud : Kisah Pedang Malam Al Fatih - Dalam sejarah, Islam pernah menaklukkan benua Eropa. Siapa sangka salah satu dari Panglima Perang saat itu adalah seorang pemuda yang sangat saleh, berusia 21 tahun, yang bernama Sultan Muhammad Al Fatih (30 Maret 1432 – 3 Mei 1481) . Ia merupakan seorang sultan Turki Utsmani yang menaklukkan Kekaisaran Romawi Timur. Mempunyai kepakaran dalam bidang ketentaraan, sains, matematika & menguasai 6 bahasa saat berumur 21 tahun. Seorang pemimpin yang hebat, pilih tanding, dan tawadhu' setelah Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (pahlawan Islam dalam perang Salib) dan Sultan Saifuddin Mahmud Al-Qutuz (pahlawan Islam dalam peperangan di 'Ain Al-Jalut melawan tentara Mongol).

Kejayaannya dalam menaklukkan Konstantinopel menyebabkan banyak kawan dan lawan kagum dengan kepimpinannya serta taktik & strategi peperangannya yang dikatakan mendahului pada zamannya dan juga kaedah pemilihan tenteranya. Ia jugalah yang mengganti nama Konstantinopel menjadi Islambul (Islam keseluruhannya) . Kini nama tersebut telah diganti oleh Mustafa Kemal Ataturk menjadi Istanbul. Untuk memperingati jasanya, Masjid Al Fatih telah dibangun di sebelah makamnya.

Diceritakan bahwa tentara Sultan Muhammad Al Fatih tidak pernah meninggalkan solat wajib sejak baligh & separuh dari mereka tidak pernah meninggalkan solat tahajjud sejak baligh. Hanya Sulthan Muhammad Al Fatih saja yang tidak pernah meninggalkan solat wajib, tahajud & rawatib sejak baligh hingga saat kematiannya.


Kejayaan dan kesuksesan hidup ia telah raih di usia yang begitu muda. Ia-pun dikenang jutaan manusia sepanjang abad. Harum nama Sultan Al Fatih diperoleh berkat keshalehan, keberanian dan kemuliaan akhlaknya. Sebagai jenderal beliau memimpin laskar islam menaklukkan benteng terkuat imperium Byzantium , Konstantinopel. Kota ini diubahnya menjadi kota Istambul. Dari sini beliau menebarkan kasih sayang islam di bumi eropa.

Apa rahasia dibalik semua kesuksesan beliau? Ternyata rahasianya beliau sangat kuat shalat malamnya yaitu tahajud. Bukankah Rasulullah saw SAW menegakkan shalat tahajud sepanjang malam dan setiap hari? Bukankah beliau Rasulullah saw SAW shalat tahajud merupakan kewajiban yang tak bisa beliau tinggalkan dalam setiap perjuanganya.

Jika anda bertanya, apakah benar Muhammad Al Fatih sudah melakukan tindakan besar yang megubah sejarah peradaban dunia? Ya, dalam sejarah, hal ini tidak aneh. Bukankah sahabat Rasulullah saw SAW bernama Usamah juga menjadi panglima perang dalam usia 18 tahun. Sementara yang menjadi prajuritnya adalah Umar bin Khatab sahabat Rasulullah saw SAW yang waktu itu sudah tua. Ini menunjukkan betapa kualitas keimanan dan kekuatan ruhani Usamah menjadi salah satu ukuran yang dipertimbangkan Rasulullah saw SAW ketika menetapkan Usamah memimpin ekspedisi militer menghadapi kekuatan super power Romawi?

Namun Sang Pedang Malam, orang asia bernama Muhammad Al Fatih merontokkan super power Romawi pada 1453, agak unik. Beliau ahli shalat malam (tahajud), ahli qiyamul lail. Beliau selau kontak dengan energi terbesar di alam semesta ini, Allah SWT. Beliau selalu taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah SWT, Pemilik dan Penguasa Tunggal Alam semesta.

Sejak kecil Sultan Muhammad Al Fatih dididik oleh seorang wali. Beliau tumbuh menjadi remaja yang memiliki kepribadian unggul. Beliau jadi Sultan, dalam usia 19 tahun menggantikan sang ayah.

Bagaimana sifat Sultan Muhammad Al Fatih sehingga beliau mampu memetik keberhasilan dalam hidupnya dengan sangat efektif, merebut benteng Konstantinopel yang kokoh itu. “sifatnya tenang, berani, sabar menanggung penderitaan, tegas dalam membuat keputusan dan mempunyai kemampuan mengawasi diri (self control) yang luar biasa. Kemampuanya dalam memimpin dan mengatur pemerintahan sangat menonjol.”

Sultan Muhammad Al Fatih sangat tegas terhadap musuh. Namun, lembut qolbunya bagai selembar sutra dalam menghadapi rakyat yang dipimpinnya. Kebiasaan Sultan Muhammad Al Fatih, unik. Beliau selalu berkeliling di malam hari, memeriksa kondisi teman dan rakyatnya. Sengaja beliau berkeliling untuk memastikan agar rakyat dan kawan-kawanya menegakkan shalat malam dan qiyamullail.

Qiyamul lail, shalat tahajud, inilah senjata utama Muhammad Al Fatih dalam mengarungi kehidupan di dunia yang fana ini. Inilah Pedang Malam, yang selalu diasahnya dengan tulus ikhlas dan khusuk, ditegakkan setiap malam. Dengan pedang malam ini timbul energi yang luar biasa dari pasukan Muhammad Al Fatih. Sjarah mencatat Muhammad Al Fatih yang baru berusia 21 tahun berhasil menggapai sukses besar, menerobos benteng Konstantinopel, setelah dikepung beberapa bulan maka takluklah Konstantinopel.

Suatu hari timbul soal ketika pasukan islam hendak melaksanakan shalat jum’at yang pertama kali di kota itu. 

“Siapakah yang layak menjadi imam shalat jum’at?” tak ada jawaban. Tak ada yang berani yang menawarkan diri ! lalu Muhammad Al Fatih tegak berdiri. Beliau meminta kepada seluruh rakyatnya untuk bangun berdiri. 

Kemudian beliau bertanya. “ Siapakah diantara kalian yang sejak remaja, sejak akhil baligh hingga hari ini pernah meninggalkan meninggalkan shalat wajib lima waktu, silakan duduk!!” Subhanalloh……!!! Maha suci Allah ! tak seorangpun pasukan islam yang duduk. Semua tegak berdiri. Apa artinya? Itu berarti, tentara islam pimpinan Muhammad Al Fatih sejak masa remaja mereka hingga hari ini, tak seorangpun yang meninggalkan shalat fardhu. Tak sekalipun mereka melalaikan shalat fardhu. Luar biasa…..!!!!! !

Lalu Muhammad Al Fatih kembali bertanya: “ Siapa diantara kalian yang sejak baligh dahulu hingga hari ini pernah meninggalkan shalat sunah rawatib? Kalau ada yang pernah meninggalkan shalat sunah sekali saja silakan duduk!!!”. Sebagian lainya segera duduk. Artinya, pasuka islam sejak remaja mereka ada yang teguh hati, tidak pernah meninggalkan shalat sunah setelah maghrib, dua roka’at sebelu shubuh dan shalat rowatib lainya. Namun ada yang pernah meninggalkanya. Betapa kualitas karakter dan keimanan mereka sebagai muslim sungguh bernilai tinggi, sungguh jujur, pasukan islam Al Fatih.

Dengan mengedarkan matanya ke seluruh rakyat dan pasukanya Muhammad Al Fatih kembali berseru lalu bertanya: “ Siapa diantara kalian yang sejak masa akhil baligh sampai hari ini pernah meninggalkan shalat tahajud di kesunyian malam? Yang pernah meninggalkan atau kosong satu malam saja, silakan duduk!!” 

Apa yang terjadi…???? Terlukislah pemandangan yang menakjubkan sejarawan barat dan timur. Semua yang hadir dengan cepat duduk!!” Hanya ada seorang saja yang tetap tegak berdiri. Siapakah dia??? dialah, Sultan Muhammad Al Fatih, sang penakluk benteng super power Byzantium Konstantinopel. Beliaulah yang pantas menjadi imam shalat jumat hari itu. Karena hanya Al Fatih seorang yang sejak remaja selalu mengisi butir-butir malam sunyinya dengan bersujud kepada Allah SWT, tidak pernah kosong/absen semalampun.

Dalam sejarah ditulis, bahwa pasukan Sultan Muhammad Al-Fatih tiba di kota Konstantinopel pada hari Kamis 26 Rabiul Awal 857 H atau 6 April 1453 M. Di hadapan tentaranya, Sulthan Al-Fatih lebih dahulu berkhutbah mengingatkan tentang kelebihan jihad, kepentingan memuliakan niat dan harapan kemenangan di hadapan Allah Subhana Wa Ta'ala. Dia juga membacakan ayat-ayat Al-Qur'an mengenainya serta hadis Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tentang pembukaan kota Konstantinopel. Ini semua memberikan semangat yang tinggi pada bala tentera dan lantas mereka menyambutnya dengan zikir, pujian dan doa kepada Allah Subhana Wa Ta'ala.

Sultan Muhammad Al-Fatih pun melancarkan serangan besar-besaran ke benteng Bizantium di sana. Takbir "Allahu Akbar, Allahu Akbar!" terus membahana di angkasa Konstantinopel seakan-akan meruntuhkan langit kota itu. Pada 27 Mei 1453, Sultan Muhammad Al-Fatih bersama tentaranya berusaha keras membersihkan diri di hadapan Allah Subhana Wa Ta'ala. Mereka memperbanyak shalat, doa, dan dzikir. Hingga tepat jam 1 pagi hari Selasa 20 Jumadil Awal 857 H atau bertepatan dengan tanggal 29 Mei 1453 M, serangan utama dilancarkan. Para mujahidin diperintahkan supaya meninggikan suara takbir kalimah tauhid sambil menyerang kota. Tentara Utsmaniyyah akhirnya berhasil menembus kota Konstantinopel melalui Pintu Edirne dan mereka mengibarkan bendera Daulah Utsmaniyyah di puncak kota. Kesungguhan dan semangat juang yang tinggi di kalangan tentara Al-Fatih, akhirnya berjaya mengantarkan cita-cita mereka.


Sejak abad kedelapan sahabat Rasulullah saw berusaha merebut benteng ini. Salah satunya Abu Ayyub Al Anshari namun gagal. Baru setelah enam abad kemudian benteng itu berhasil direbut dibawah pimpinan Muhammad Al Fatih.Karena jasanya inilah beliau diberi gelar Al Fatih (sang pembuka) yaitu membuka kota Byzantium yang dulunya adalah Konstantinopel. Beliau adalah seorang pemberani, ahli strategi militer, juga istiqomah dalam shalat tahajudnya.

Itulah sebuah kisah sejarah yang sungguh indah dalam bungkai ketakwaan kepada Allah SWT. Kisah Pedang Malam yang merupakan rahasia sukses dari seorang pribadi penggubah sejarah, bernama Muhammad Al Fatih, orang asia asal Turki, yang baru berusia 21 tahun. Shalat Tahajud merupakan modal yang sangat penting untuk membangun kekuatan ruhiyah dalam kesuksesan Al Fatih dikemudian hari. Sehingga islam jaya, berpendar-pendar cahayanya selama 500 tahun di bumi eropa sejak abad ke-15. Semuanya berasal dari Pedang Malam Al Fatih yang amat begitu luar biasa.

Keberadaan Muhammad Al-Fatih telah diprediksi oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335].

Dalam hadist lain diriwayatkan, :”Aku mendengar baginda Rasulullah S.A.W mengatakan seorang lelaki soleh akan dikuburkan di bawah tembok tersebut & aku juga ingin mendengar derapan tapak kaki kuda yang membawa sebaik-baik raja yang mana dia akan memimpin sebaik-baik tentara seperti yang telah diisyaratkan oleh baginda" (Abu Ayyub al-Anshari)

Maasyaa Allah, Luar biasa……Sultan Muhammad Al Fatih (Sang Pembuka)……!!!!

Ya Allah, aku bermohon pada-Mu agar Engkau jadikan kami dan sahabat kami semua yang membaca artikel ini semua, menjadi ahli Tahajjud, ahli Qiyamul lail, seperti halnya Rasulullah dan Keluarganya, sahabatnya dan seperti Si Pedang Malam, Sultan Muhammad Al Fatih. AmiinSultan Muhammad Al-Fatih, Kisah Ahli Tahajud : Kisah Pedang Malam Al Fatih 

Sebarkan artikel ini, untuk menjadi amal ibadah kita, serta ketika telah mengambil manfaat dari kisah ini kita semua bisa menjadi bagian orang orang yang menegakkan Dinul Islam hingga Islam Berkuasa sepenuhnya di Indonesia.

sumber ; http://www.daarulmuwahhid.org/dm/index.php?option=com_content&view=article&id=175:kisah-ahli-tahajud-kisah-pedang-malam-al-fatih-sang-pembuka&catid=45:kisah-teladan&Itemid=60

MENGAMBIL PELAJARAN PADA MUHAMMAD AL FATIH DALAM PENAKLUKAN KONSTANTINOPEL

“Latuftahannal konstantinniyyah falani’mal amiiru amiiruha wala ni’mal jaysu daalikal jays”

"Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan, sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin pasukan pada saat itu dan sebaik baik pasukan adalah pasukan pada saat itu."

Konstantinopel merupakan kota terpenting di dunia, kota yang sekaligus benteng ini dibangun pada tahun 330 M. oleh Kaisar Byzantium yaitu Constantine I. Konstaninopel memiliki posisi yang sangat penting di mata dunia. Sejak didirikannya, pemerintahan Byzantium telah menjadikannya sebagai ibukota pemerintahan Byzantium. Konstantinopel merupakan salah satu kota terbesar dan benteng terkuat di dunia saat itu, dikelilingi lautan dari tiga sisi sekaligus, yaitu selat Bosphorus, Laut Marmarah dan Tanduk Emas yang dijaga dengan rantai yang sangat besar, hingga tidak memungkinkan untuk masuknya kapal musuh ke dalamnya. Di samping itu, dari daratan juga dijaga dengan pagar-pagar sangat kokoh yang terbentang dari laut Marmarah sampai Tanduk Emas. Memiliki satu menara dengan ketinggian 60 kaki, benteng setinggi 60 kaki sedangkan pagar bagian luarnya memiliki ketinggian 25 kaki, selain tower-tower pemantau yang terpencar dan dipenuhi tentara pengawas. Dari segi kekuatan militer, kota ini dianggap sebagai kota yang paling aman dan terlindungi, karena di dalamnya ada pagar-pagar pengaman, benteng-benteng yang kuat dan perlindungan secara alami. dengan demikian, maka sangat sulit untuk bisa diserang atau ditaklukkan. Kedudukan Konstantinopel yang strategis diillustrasikan oleh Napoleon Bonaparte; ".....kalaulah dunia ini sebuah negara, maka Konstantinopel inilah yang paling layak menjadi ibukota negaranya!".

Keseriusan para Sahabat, para Khalifah serta para Sulthan dalam menaklukkan Konstantinopel. Ketika para sahabat mendengar langsung dari bibir mulia Rasulullah Muhammad SAW pada saat perang Khandaq tentang akan ditaklukkannya Kota Konstantinopel seperti tertera pada nukilan hadits diatas, para Sahabat mafhum, merasa sangat bersemangat dan kemudian berlomba-lomba dengan diiringi gemuruh kerinduan yang ada pada dada-dada mereka bersegera merealisasikan janji Allah dan RasulNya untuk mengambil bagian dalam upayanya menaklukkan Konstantinopel. Sebagai salah satu bukti adalah Syahidnya salah seorang Sahabat Rasulullah SAW yang bernama Abu Ayyub Al Anshori (ridho Allah senantiasa menyertainya) dipinggir kota Konstantinopel pada masa pemerintahan Khalifah Muawwiyah bin Abi Sofyan dalam rangka menaklukkan benteng sekaligus kota terkuat, yang konon sangat sulit untuk ditaklukkan oleh negara manapun di dunia saat itu.

Adalah Sahabat mulia Abu Ayyub Al Anshori R.A."peletak batu pertama" pada proyek agung penaklukkan kota Konstantinopel yang dikomandoi Khalifah Muawwiyah bin Abi Sofyan pada tahun 44.H meski serangan pertama ini belum berhasil tapi karena kecerdasan dan kecerdikan wasiat terakhir Abu Ayyub Al Anshori yang terluka parah saat itu kepada panglima Yazid bin Muawwiyah agar jasadnya dibawa dengan kudanya sejauh jarak yang dapat ditempuh ke arah musuh dan dikebumikan dijantung kota Konstantinopel, menjadikan peristiwa ini menjadi salah satu inspirasi juga semangat yang membakar pasukan terbaik dengan di bawah kepemimpinan pemimpin terbaik 
Sulthan Muhammad Al - Fatih dalam penaklukan terakhir Konstantinopel.

Oleh sebab itulah kekuatan Islam melalui futuhat akan selalu merambah ke sana, Serangan paling besar dilakukan di masa Bani Umayyah, yaitu masa kekhilafahan Sulaiman bin Abdul Malik tahun 98 H sampai sampai besarnya jumlah pasukan Islam yang mengepung benteng Konstantinopel berlangsung berbulan bulan dan pasukan dalam kondisi kelaparan yang mengenaskan karena keinginan kuat sang khalifah dalam menaklukkan Konstantinopel. Usaha-usaha untuk menaklukkan Konstantinopel terus berlanjut, di masa khilafah Abbasiyah berlangsung Jihad yang demikian intensif untuk melawan pemerintahan Byzantium, namun demikian usaha ini belum sampai ke 
Konstantinopel walaupun serangan itu telah menimbulkan gejolak di dalam negeri Byzantium, khususnya serangan yang dilakukan oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid pada tahun 190 H. Setelah itu upaya penaklukan Konstantinopel dilanjutkan oleh Kesultanan Islam Saljuk di Asia Kecil; seperti Sulthan Alib Arsalan yang telah berhasil hanya dengan pasukan Islam sejumlah 15.000 mengalahkan tentara Romawi dengan Kaisar Rumanos dan pasukannya yang berjumlah kurang lebih 200.000 personil dalam Perang Manzikart pada tahun 464 H/1070 M. dengan peperangan dahsyat sepanjang sejarah. Kemenangan Spektakuler ini merupakan titik perubahan penting dalam sejarah Islam. Sebab peristiwa ini telah melemahkan pengaruh Romawi di Asia Kecil yang tak lain adalah wilayah-wilayah strategis kekaisaran Byzantium.

Ketika kekhilafahan Abbasiyah yang beribukota di Baghdad dihancurkan oleh serbuan pasukan Mongolia dibawah pimpinan Hulaku Khan, lahirlah Utsman peletak dasar Khilafah Utsmaniyah. Dengan kekuasaan yang baru lahir dia telah menembus laut Marmarah, dengan bala tentaranya dia telah berhasil mengancam dua kota utama Byzantium kala itu yakni Azniq dan Burshah. Setelah wafatnya Utsman, anaknya yang bernama Orkhan segera memangku kekuasaan, Tahun 727 H/1327M Nicomedia sebuah kota yang berada di barat laut Asia kecil dekat kota Konstantinopel jatuh ditangannya. Sulthan Orkhan sangat peduli untuk merealisasikan apa yang pernah dikabarkan 
oleh Rasulullah SAW tentang akan dibukanya Konstantinopel. Dia telah melakukan langkah-langkah strategis untuk melakukan pengepungan terhadap ibukota Byzantium dari sebelah barat dan timur pada saat yang bersamaan, agar bisa merealisasikannya, dia mengirim anaknya yg bernama Sulaiman untuk melintasi selat Dardanil dan memerintahkannya agar menguasai beberapa wilayah di sebelah barat. Tahun 758 H Sulaiman berhasil menyeberangi selat Dardanil pada malam hari bersama empat puluh orang tentara penunggang kuda, tatkala sampai di tepi barat, mereka mengambil alih beberapa kapal milik tentara Romawi yang sedang berada ditempat itu,lalu mereka kembali membawa kapal–kapal ke tepi timur, mengingat tentara Utsmani belum memiliki armada laut sebab kekuasaan mereka baru saja berdiri. Di tepi timur inilah, Sulaiman memerintahkan pasukannya untuk menaiki kapal-kapal itu yang membawa mereka ke pantai Eropa sampai mereka mampu menaklukkan benteng Tarnab, Ghalmabuli yang di dalamnya ada benteng Jana dan Apsala serta Rodestu, semuanya berada di selat Dardanil yang berada diutara dan selatan. Dengan begitu Sulthan Orkhan telah melakukan sebuah langkah penting dan membuka jalan bagi pemimpin yang datang setelahnya untuk menaklukkan Konstantinopel. Di Eropa, tentara Utsmani melakukan futuhat di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Byzantium, Pada tahun 762 H./1360 M., Sulthan Murad I mengusai Adrianople(Edirne), sebuah kota yang sangat strategis di Balkan dan dianggap sebagai kota kedua setelah Konstantinopel oleh Byzantium. Dia menjadikan kota ini sebagai ibukota pemerintahannya sejak tahun 768H./1366M. Pada masa kepemimpinan Sulthan Bayazid I terjadi pengepungan Konstantinopel dgn pasukan yang dipimpinnya sendiri hingga membuat Konstantinopel hampir menemui keruntuhannya. Karena munculnya sebuah bahaya baru (Timur Lenk) yang mengancam pemerintahan Utsmani akhirnya Sulthan Bayazid menarik mundur pengepungan tersebut.

Penaklukan Konstantinopel oleh Muhammad Al – Fatih Tatkala kekuasaan Utsmani kembali stabil, semangat Jihad kembali berkobar, pada masa pemerintahan Sulthan Murad II beberapakali usaha penaklukkan Kota Konstantinopel dilakukan. Bahkan di masanya pasukan Islam beberapakali mengepung kota ini.

Adalah Sulthan Muhammad Khan (Al-Fatih) putera Sulthan Murad II yang melanjutkan estafet penaklukkan Konstantinopel baik dari ayahnya maupun pendahulunya, Dia berusaha dengan berbagai cara dan strategi diantaranya, memperkuat kekuatan militer Utsmani dari segi kwantitas hingga mencapai 250.000 mujahid. Selain membekali pasukan dengan berbagai seni tempur dan ketangkasan menggunakan senjata, Dia juga menanamkan semangat Jihad, Sulthan juga mengingatkan mereka akan pujian Rasulullah pada pasukan yang mampu membuka Kota Konstantinopel. Dia selalu berharap, tentara yang dimaksud Rasulullah adalah tentaranya. Hal ini memberikan dorongan moral serta ruhiyyah yang sangat kuat dan tiada tara di seluruh benak 
pasukannya. Dia juga memperkuat infrastruktur angkatan perang yang mutakhir dan strategi canggih, dengan membangun benteng Romali Hisyar di wilayah selatan Eropa di selat Bosphorus pada sebuah titik yang paling strategis yang berhadapan dengan benteng yang pernah dibangun pendahulunya yaitu Sulthan Bayazid di daratan Asia. Meski sempat dihalangi oleh Kaisar Romawi dengan ganti uang yang akan dibayarkan pada sulthan, Sulthan tetap menolak dengan tegas. Hingga akhirnya selesailah satu benteng yang demikian tinggi dan sangat aman. Tingginya sekitar 82 meter. Sulthan juga membebaskan tawanan insinyur ahli pembuat meriam yang bernama Orban dari penjara Konstantinopel, jadilah Meriam yang sangat besar (meriam Sulthan Muahammad) memiliki bobot ratusan ton dan membutuhkan ratusan lembu untuk menariknya.

Selain itu, dalam mempersiapkan penaklukan kota Konstantinopel, sulthan memperkuat armada laut Utsmani mengingat Konstantinopel adalah sebuah kota laut, yang tidak mungkin bisa dikepung kecuali dengan menggunakan armada laut. Disebutkan bahwa kapal yang dipersiapkan berjumlah 400 kapal.Meriam meriam besar digerakkan dari Adrianople menuju Konstantinopel dalam jangka waktu dua bulan. Akhirnya pasukan yang dipimpin langsung Muhammad al-Fatih sampai didekat Konstantinople pada hari Kamis tanggal 26 Rabiul Awwal 857 H.(6 April 1453 M). Sulthan Muhammad berpidato di hadapan pasukan dengan berapi-api dan penuh semangat yang memicu pasukan untuk berjihad dan meminta kemenangan pada Allah SWT atau mati syahid. Dalam khutbahnya, Sulthan menjelaskan arti pengorbanan dan keikhlasan dalam berjihad tatkala berhadapan dengan musuh. Dia membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi seruan Jihad, sebagaimana ia juga menyebutkan hadits-hadits Rasulullah yang mengabarkan tentang penaklukkan Konstantinopel dan keutamaan prajurit yang membukanya serta keutamaan pimpinan pasukannya. Dia menyebutkan, bahwa dengan dibukanya Konstantinopel berarti akan memuliakan nama Islam dan kaum Muslim. Pasukan Islam saat itu melakukan gempuran dengan membaca Laa Ilaaha Illallah dan Allahu Akbar sebelumnya Muhammad Al-Fatih memimpin do’a dengan khusyu’ kepada Allah SWT untuk kemenangan dia dan pasukannya dalam menaklukkan Konstantinopel.

Saat armada laut Utsmani mengalami kekalahan, yang sebelumnya kaisar Byzantium hampir menyerah dengan negosiasi mengajukan tawaran-tawaran yang ditolak tegas oleh Sulthan, bertambah sulitlah pengepungan yang terjadi menjadi kendur sementara musuh menyusun kekuatan lagi dengan bantuan yang berdatangan dari negara negara eropa yang dikomando oleh paus yang katholik. 

Atas ide cemerlang dari sulthan Muhammad Al-Fatih, maka dalam satu malam 70 lebih kapal Utsmani dapat dilabuhkan ke Tanduk Emas melalui jalur darat dengan bebukitan yang tinggi dengan cara yang tidak lazim. Pekerjaan demikian tentu sebuah pekerjaan yang berat dan besar bahkan dianggap sebagai “mukjizat” yang tampak dari sebuah kecepatan berfikir dan kecepatan aksi yang menunjukkan kecerdasan Muhammad Al-Fatih dan ketaatan serta keinginan kuat pasukannya saat itu. Orang-orang Byzantiumpun kaget, tak seorangpun yang percaya atas apa yang telah terjadi. Namun realita yang ada di hadapan mereka membuat mereka shock dan harus mengakui strategi yang sangat jitu tadi. Pada subuh pagi tanggal 22 April, penduduk kota yang lelap itu terbangun dengan suara takbir tentara Islam Utsmani dan genderang serta nasyid-nasyid jihad yang menggema di Tanduk Emas. Salah seorang ahli sejarah tentang Byzantium menyatakan

“kami tidak pernah melihat dan tidak pernah mendengar sebelumnya, sesuatu yang sangat luar biasa seperti ini. Muhammad Al-Fatih telah mengubah bumi menjadi lautan dan dia menyeberangkan kapal-kapalnya di puncak-puncak gunung sebagai pengganti gelombang-gelombang lautan. Sungguh kehebatannya dia jauh melebihi apa yang dilakukan oleh Iskandar yang Agung,”

Sulthan Muhammad Al-Fatih mengejutkan musuhnya dari waktu ke waktu dengan seni serangan yang selalu berbeda dari segi perang dan pengepungan, seni perang yang dia lakukan merupakan inovasi baru yang belum pernah dikenal sebelumnya. Sedangkan para Ulama’ yang ikut berjihad memberi semangat pada para mujahidin “Tatkala Rasulullah hijrah ke Madinah, Rasul singgah di rumah Abu Ayyub Al-Anshari, sedangkan Abu Ayyub Al-Anshari sengaja mendatangi tanah ini dan dia singgah disini”. Ucapan ini membakar semangat pasukan Islam dan menimbulkan gelora jihad yang tinggi. Sampailah Muhammad Al-Fatih sebelum penyerangan umum memberikan pidato kepada pembesar pembesar tentara :

“Jika penaklukan kota Konstantinopel sukses, maka sabda Rasulullah SAW telah menjadi kenyataan dan salah satu dari mukjizatnya telah terbukti, maka kita akan mendapatkan bagian dari apa yang telah menjadi janji dari hadits ini, yang berupa kemuliaan dan penghargaan. Oleh karena itu, sampaikanlah pada para pasukan satu persatu, bahwa kemenangan besar yang akan kita capai ini, akan menambah ketinggian dan kemuliaan Islam. Untuk itu, wajib bagi setiap pasukan, menjadikan syariat selallu didepan matanya dan jangan sampai ada diantara mereka yang melanggar syariat yang mulia ini. Hendaknya mereka tidak mengusik tempat-tempat peribadatan dan gereja-gereja. Hendaknya mereka jangan mengganggu para pendeta dan orang-orang lemah tak berdaya yang tidak ikut terjun dalam pertempuran”

Adanya seni strategi perang dan peristiwa-peristiwa yang menakjubkan pada pasukan Islam yang dipimpin langsung oleh Muhammd Al-Fatih akhirnya melemahkan semangat tempur pasukan Byzantium, yang mengakibatkan kekalahan dan takluknya Konstantinopel. Tepat pada hari Selasa tanggal 20 Jumadil Ula 857 H bertepatan tanggal 29 Mei 1453 M, Konstantinopel jatuh dan berhasil ditaklukkkan oleh Sulthan Muhammad Al-Fatih, kemudian dia turun dari kudanya sesudah memberi penghargaan degan ucapannya pada pasukan “MasyaAllah,” “kalian telah menjadi orang-orang yang mampu menaklukkan konstantinopel yang telah Rasulullah kabarkan” baru kemudian dia Sujud kepada Allah di atas tanah, sebagai ungkapan syukur dan pujian serta bentuk kerendahan diri dihadapan-Nya.

Dari kronologis sejarah diatas dapat kita tarik benang lurus bahwa penaklukkan Konstantinopel identik dengan perjuangan menegakkan kembali Khilafah Nubuwwah yang sampai saat ini belum berdiri:
1. Upaya penaklukkan Konstantinopel bisa terwujud karena ada keinginan yang kuat dilakukan secara terus menerus, seakan ada komunikasi dari generasi ke generasi berikutnya serta fokus pada obyek.
2. Penaklukkan Konstantinopel oleh Muhammad Al Fatih memakai kaidah kausalitas secara sempurna, karena sempurnanya seakan di luar nalar manusia. hal inilah yang membuat musuh menjadi kecil nyalinya.
3. Muhammad Al Fatih, para Sulthan, para Khalifah serta para Shahabat adalah manusia biasa seperti kita, kalau mereka dengan semangat dan keperkasaannya dapat merealisasikan janji Allah dan Rasul-Nya dalam menaklukkan Konstantinopel, maka tiada alasan bagi kita untuk tidak dapat merealisasikan hadits Rasulullah untuk mewujudkan berdirinya Khilafah Islamiyyah

………dan adalah tinggal kita wahai Syabab yang akan merealisasikan hadits Rasulullah SAW “….tsumma takuunu khilafatan ‘ala minhajin nubuwwah” dengan fikrah Islam dan thoriqah Rasulullah sebagai senjata kita, akan segera kita taklukkan atas izin Allah, ideologi Kapitalis yang saat ini sebagai benteng kuat di benak seluruh penguasa kaum muslim, dan kita dirikan diatas puing-puingnya Negara KHILAFAH ISLAMIYAH!!! ALLAHU AKBAR!!!


PUSTAKA
" Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Usmani " Oleh Muhammad As Shalabi
" Wajah Dunia Islam " DR. Muhammad Sayyid Al-Wakil
" Khilafah Bani Umayyah " Joesoef Syuaib
" Khilafah Bani Abbasiyyah" Joesoef Syuaib