Kamis, 19 Januari 2012

Ojo Rumongso Biso Nanging Bisoo Rumongso Yen Ora Biso Opo-opo

Orang Jawa bijak berkata ‘’ojo rumongso biso, nanging bisoo rumongso yen ora biso opo-opo’’ yang maksudnya janganlah merasa bisa, tetapi jadilah orang yang merasa tidak bisa apa-apa. Ungkapan kata-kata itu memang terbiasa kita dengar dan banyak diucapkan oleh orang tua ataupun berusaha dipahami oleh para pelaku spiritual yang mencoba mencari jati diri.



Begitu dalam makna itu sebenarnya dan orang yang benar-benar bisa menerapkan dalam keseharian kata-kata itu bisa dikatakan orang yang selalu terjaga dari kesalahan. Orang yang mampu menjaga ego, nafsu dan keinginan dunia yang berlebihan.

Merasa kecil dihadapan Allah, karena merasa diri tiada artinya dihadapan Allah, karena semua kehendak dan perilakunya mengacu pada sifat-sifat kebesaran Allah. Bisa dikatakan orang yang hidupnya menuju kesempurnaan kehidupan duniawi.

Dia bisa hidup tenang dan akan merasa dekat dengan Tuhannya. Tiada kesedihan dan ketakutan akan kehidupannya, karena semuanya diserahkan secara ikhlas kepada Allah. Merasa tiada harga dan hanya takut akan kebesaran Allah inilah, seseorang itu akan patuh terhadap kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah kepadanya. Dia akan mengamalkan sunah Rosul yang dianutnya.

Bila itu terjadi, dan limpahan kasih sayang serta cinta Allah pastilah tertuju kepadanya. Dan orang seperti inilah yang dianggap juga seorang wali. Orang yang akan selalu terjaga dari kesalahan dan dosa dan Allah akan membenci orang yang menyakiti seorang wali, seperti yang di firmankan dalam Al Qur’an Surat Yunus ayat 62 ‘’“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” .

Seperti halnya juga yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda:
Allah Swt berfirman, ‘’Barangsiapa yang menyakiti seorang wali, berarti telah memaklumkan perang terhadap-Ku. Karena melawan dia . Seorang hamba bisa mendekatkan diri kepada Ku dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dia senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku mencintainya. Tak pernah Aku merasa ragu-ragu melakukan sesuatu seperti keraguanku mencabut nyawa seorang hamba-Ku yang beriman, karena dia tidak menyukai kematian dan Aku tak suka menyakiti hatinya; tetapi maut itu adalah sesuatu yang tak bisa dihindari.“. Hadis itu diriwiyatkan Ahmad Hakim dan Tirmidzi.

Bagaimana sebenarnya orang itu dikatakan wali. Kata wali mempunyai dua makna. Yang pertama berasal dari bentuk fa’iil (subyek) dalam pengertian maf’ul (obyek). Artinya orang yang diambil alih kekuasaannya oleh Allah swt. Sebagaimana telah difirmankan oleh-Nya, “... dan Dia mengambil alih urusan (yatawalia) orang-orang saleh.” (Q.s. AI-A’raf 196). Sejenakpun si wali tidak mengurusi dirinya.
Wali yang kedua mengandung arti berasal dari bentuk fa’iil dalam pengertian penekanan (mubalaghah) dari faa’il. Yaitu orang yang secara aktif melaksanakan ibadat kepada Allah dan mematuhi-Nya secara terus menerus tanpa diselingi kemaksiatan.

Kedua arti ini mesti ada pada seorang wali untuk bisa dianggap sebagai wali yang sebenarnya, dengan menegakkan hak-hakAllah swt. atas dirinya sepenuhnya, disamping perlindungan Allah swt. padanya, di saat senang maupun susah.

Menurut Syeik Abdul Qosim al-Qusyairi, salah satu persyaratan seorang wali adalah bahwa Allah melindunginya dari mengulangi dosa-dosa (mahfudz), seperti halnya salah satu persyaratan seorang Nabi adalah bahwa dia terjaga dari segala dosa (ma’shum). Siapa pun yang berbuat dengan cara yang menyimpang dari syariat Allah swt. berarti telah tertipu.

Ada sebuah cerita, suatu ketika Abu Yazid al-Bisthamy berangkat untuk mencari seseorang yang oleh orang-orang lain digambarkan sebagai seorang wali. Ketika sampai ke masjid orang tersebut, dia lalu duduk dan menunggu orang tersebut keluar. Orang itu pun keluar setelah meludah di dalam masjid. Abu Yazid pun pergi begitu saja tanpa memberi salam kepadanya, dan berkata, `Inilah orang yang tak bisa dipercaya untuk melaksanakan adab yang benar seperti dinyatakan dalam hukum Allah. Bagaimana mungkin dia bisa diandalkan untuk menjaga rahasia-rahasia Allah swt ?”

Tiadalah mungkin orang yang begitu dekat dengan Allah akan membuang kotoran seenaknya di tempat yang disucikan. Ada sebuah ungkapan, orang yang pandai bicara menyitir sabda nabi dan menjabarkan firman Allah secara fasih, belum tentu ia paham makna yang diucapkannya.

Beda Pendapat
Bagi orang yang menyadari kedekatannya dengan Allah, bisa jadi ia tak begitu mempersoalkan keberadannya, namun orang-orang terdekat atau yang kenal dia tentu berpikiran lain. Bahkan, terdapat ketidaksepakatan di kalangan kaum Sufi mengenai apakah diperbolehkan bagi seseorang untuk menyadari bahwa dirinya adalah seorang wali atau bukan.

Ada yang mengatakan, “Hal itu tidak diperbolehkan. Sang wali harus selalu introspeksi dirinya dengan pandangan penuh hina. Jika suatu karomah terjadi melalui dirinya, dia merasa takut jika karomah tersebut merupakan godaan dan dia senantiasa merasa takut jika keadaan akhirnya berlawanan dengan keadaannya sekarang.” Para Sufi yang berpendapat seperti ini menjadikan syarat kewalian, harus selaras dengan keteguhannya hingga akhir hayat.

Tetapi, ada sebagian Sufi mengatakan, “Boleh saja seorang wali mengetahui bahwa dirinya adalah wali, dan kesetiaan pada kewalian sampai akhir hayat sang wali bukanlah persyaratan untuk mencapai derajat kewalian di saat ini.”

Jika kesetiaan seperti itu merupakan prasyarat untuk mencapai derajat kewalian, bahwa seorang wali akan dianugerahi suatu karomah tertentu yang dengannya Allah memberitahukan kepadanya mengenai kepastian keadaan akhirnya. Sebab, kepercayaan terhadap karomah seorang wali adalah wajib.

Walaupun ia dipisahkan rasa takut akan keadaan akhirnya, namun sikapnya mengagungkan dan me-Mahabesarkan bisa meningkatkan kondisi batin secara lebih efektif daripada banyaknya rasa takut itu sendiri.

Suatu ketika Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sepuluh orang sahabatku akan berada di surga,” maka sepuluh orang itu sangat percaya kepada sabda Rasulullah saw dan mengetahui kepastian nasib mereka. Hal ini tidaklah membuat cacat keadaan mereka. Sebab di antara syarat sahnya memahami`secara benar mengenai kenabian menuntut pemahaman mengenai definisi mukjizat, disamping itu juga pengetahuan tentang hakikat karomah.

Karena itu tidaklah mungkin bagi seorang wali, manakala dia menyaksikan suatu karomah terjadi di depan matanya, tidak mungkin ia tidak membedakan antara karomah dan lainnya. Jika menyaksikan hal seperti itu, sang wali mengetahui bahwa dia berada di jalan yang benar.

Sang wali juga diperkenankan mengetahui realita yang akan datang dengan tetap konsisten pada kekinian perilakunya. Dianugerahi pengetahuan ini sendiri adalah suatu karomah. Ajaran tentang - karomah wali adalah benar, sebagaimana dipersaksikan oleh banyak riwayat Sufi.

Bagi seorang manusia yang sudah diakui kedekatannya oleh Allah, tentu banyak karomah yang diperolehnya. Dia bisa saja takut akan karomah yang di dapatnya, namun dengan keikhlasan dan kepasrahan itulah yang membuatnya terjaga dari kesalahan, menerima petunjuk dari Allah.

Dengan mengadopsi ungkapan bahasa jawa tersebut, bisa dikatakan seseorang akan tertuntun kedekatan rohaninya menuju kebenaran sejati. Jalan yang diridhoi Allah untuk menjalani kehidupan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar